OPINI: Tax Treaty RI-Belarus & Pasar Eropa Timur
Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak baru saja mengumumkan selesainya proses ratifikasi atas Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty) antara Indonesia dan Belarus.
Persetujuan yang telah ditandatangai oleh menteri keuangan kedua negara sejak 19 Maret 2013 ini telah diadopsi menjadi bagian dari peraturan domestik yang bersifat mengikat dan mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 2019 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2018 perihal Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Belarus tentang Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang Berkenaan dengan Pajak-Pajak atas Penghasilan.
Berlakunya Tax Treaty antara Indonesia dan Belarus membuka babak baru dalam kemitraan ekonomi kedua pihak serta negara Eropa timur lainnya. Perjanjian yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama melalui penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak ini diharapkan mampu memacu perdagangan dan investasi antara kedua negara secara signifikan dalam waktu yang singkat.
Keanggotaan Belarus dalam Eurasian Economic Union dan Commonwealth of Independent States Free Trade Area memberikan tambahan akses perdagangan untuk produk Indonesia dengan basis produksi di Belarus, ke beberapa negara Eropa timur seperti Rusia, Ukraina, Uzbekistan, Moldova, Armenia, Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Tajikistan dengan total pangsa pasar sedikitnya US$5,37 triliun dolar.
Disisi lain, melalui investasi di Indonesia, produk-produk Belarus dapat melakukan penetrasi ke pasar domestik dan memanfaatkan akses perdagangan bebas ke Jepang, Australia, Selandia Baru serta negara-negara Asia Tenggara dengan mengoptimalkan keanggotaan Indonesia di beberapa Free Trade Agreement dan Economic Partnership Agreement bersama negara mitra di kawasan.
Sebuah modal yang krusial mengingat kuantitas perdagangan Indonesia dengan negara-negara Eropa timur masih relatif rendah. Meskipun Indonesia dan Belarus telah memiliki Preferential Trade Agreement sejak 2002, perdagangan kedua negara pada 2016 hanya mencapai US$166,54 juta atau setara dengan 0,06% dari total perdagangan nasional dengan defisit sebesar US$160,77 juta.
Pada 2017, menurut laporan Kementerian Perdagangan, kuantitas perdagangan kedua negara sedikit meningkat yaitu sebesar US$205,3 juta (0,07% dari total perdagangan nasional) dengan defisit US$ 198,26 juta.
Defisit perdagangan terus meningkat akibat mismatch antara nilai ekspor dan impor. Indonesia pada umumnya mengekspor produk-produk agrikultur (karet mentah, kelapa sawit, tembakau, kertas, dan kelapa) yang bernilai tambah rendah ke Belarus tetapi mengimpor produk manufaktur (potasium, pupuk kimia, dan ban) yang bernilai tambah tinggi.
Di bidang pariwisata, jumlah wisatawan Belarus yang berkunjung ke Indonesia juga belum menunjukan proporsi yang signifikan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan Belarus yang berkunjung ke Indonesia pada 2017 hanya 4.576 orang atau 0,03% dari total wisatawan asing. Pada 2018 jumlah wisatawan meningkat sebesar 5,29% menjadi 4.818 orang. Meskipun upaya promosi pariwisata terus dilakukan oleh pemerintah tetapi lamanya waktu tempuh dan tidak adanya penerbangan langsung yang menghubungkan Jakarta dan Minsk mengakibatkan kemitraan pariwisata kedua negara tumbuh relatif lambat.
Patut digarisbawahi sejumlah ketentuan dalam Tax Treaty antara Indonesia dan Belarus yang dapat menstimulus kegiatan investasi dan perdagangan. Pertama, implementasi tie-breaker rules secara komprehensif untuk menyelesaikan kasus orang pribadi yang menjadi subjek pajak domestik di kedua negara (dual residency) dengan berpedoman pada lokasi permanent home, center of vital interests, dan habitual abode.
Selain itu nationality dan Mutual Agreement Procedure (MAP) sehingga lalu lintas pekerja dan wisatawan tidak terhambat oleh kewajiban perpajakan.
Bentuk Usaha
Kedua, penggunaan time-test 120 hari dan enam bulan untuk menentukan ada atau tidak adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari masing-masing pemberian jasa dan proyek konstruksi atau instalasi.
Ketiga, pembebasan dari pajak penghasilan atas business profits sepanjang tidak terdapat BUT di negara sumber penghasilan serta kesesuaian dengan peraturan domestik terkait biaya-biaya yang dapat dan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan BUT.
Keempat, pengenaan pajak di negara resident atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional, termasuk penghasilan dari penyewaan bareboat untuk menyederhanakan pemajakan terhadap bisnis pelayaran dan penerbangan.
Kelima, kewajiban bagi otoritas pajak mitra untuk melakukan corresponding adjustment apabila terdapat koreksi atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa serta batas waktu untuk melakukan koreksi selama 10 tahun.
Keenam, pengenaan tarif Pajak Penghasilan preferensial sebesar 10% atas passive incomes berupa dividen (termasuk branch profit), bunga, dan royalti setelah memenuhi persyaratan beneficial owner.
Ketujuh, alternatif mekanisme penyelesaian sengketa pajak melalui MAP serta komitmen untuk melakukan pertukaran informasi secara spontan dan otomatis.
Tax Treaty akan memudahkan kapitalisasi lalu lintas modal agar kedua negara dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi di masing-masing kawasan. Namun, dibandingkan dengan tax treaty yang lain, terdapat beberapa kekurangan seperti tidak adanya fasilitas indirect/underlying foreign tax credit dan reciprocal tax sparing sebagai insentif fiskal untuk foreign direct investment.
Kemudian absennya ketentuan force of attraction akan menyulitkan otoritas perpajakan untuk mencegah pengelakan pajak yang dilakukan melalui pengaturan skema transaksi BUT.
Tidak kalah penting, prosedur administrasi untuk mendapatkan manfaat tax treaty dan partisipasi kelembagaan otoritas perpajakan kedua negara perlu terus disempurnakan agar tidak menghambat efektifitas fungsinya.
Sumber:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190228/259/894494/opini-tax-treaty-ri-belarus-pasar-eropa-timur