Call us now: (021) 7807316 | E-Mail: info@maas.co.id

MAAS Consulting

  • About Us
  • Our Consultant
  • Our Services
    • Taxation
    • Auditing And Accounting
    • Bussiness Advisory
  • Our Clients
  • News
  • Forums
  • Career
  • Get in touch
  • Menu Menu
News

Ada Pajak 3%, Toyota Masih Yakin LCGC Beri Kontribusi Baik

Jakarta – Setelah mendapatkan perlakuan pajak istimewa sejak diluncurkan di Indonesia, LCGC rencananya dikenakan pajak sebesar 3%. Kebijakan LCGC disebut bakal pindah ke program pemerintah yang lain yakni Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) seperti Plug-in Hybrid, Electric Vehicle, dan Fuel Cell yang mendapat insentif PPnBM nol persen.

Meskipun demikian, PT Toyota Astra Motor yang ikut bersaing di segmen ini masih cukup yakin dengan eksistensi dan kontribusi LCGC mereka di pasar Indonesia. Mereka pun akan mendukung berbagai kebijakan pemerintah seperti apa hasil pasti dari skema pajak baru itu nantinya.

“Meski nantinya ada peraturan baru, kami percaya LCGC masih bisa berkontribusi cukup baik. Tapi saat ini peraturannya masih draft, jadi kami masih menunggu real regulasinya seperti apa, yang pasti Toyota akan mendukung,” ujar Marketing Director PT Toyota Astra Motor, Anton Jimmi saat ditanyai oleh awak media di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2019).

Toyota sendiri tidak terkejut terhadap draft pajak 3% tersebut. Menurut mereka dalam 5 tahun sejak pertama kali ada LCGC mereka sudah cukup tertolong dengan insentif PPnBM 0 %

“Meski pajaknya katanya akan naik, dari 0 persen menjadi 3 persen, tapi kami melihat kami sudah diberi intensif selama lima tahun, kami sangat berterima kasih sekali, mudah-mudahan di next regulasi akan mendapat perhatian yang baik dari pemerintah. Itu challenge, tapi dari Toyota akan terus berusaha memoertahankan LCGC dengan peraturan baru nantinya,” papar Anton.

Anton juga tidak memungkiri popularitas dari LCGC mulai menurun ditambah lagi dengan demam SUV yang terjadi saat ini. Ia mengakui bahwa permintaan LCGC sudah sangat berbeda saat ini dibanding sejak pertama kali diluncurkan.

“Secara pasar memang turun, tapi Agya kan relative normal sejak 2 tahun lalu, kalau Calya kan baru normal sejak akhir tahun lalu. Calya kami launch di 2017, 2018 juga cukup baik di semester 1, baru di semester dua dan sekarang lah yang kami sebut normal demand. Jadi sebenarnya penjualannya gak turun, tapi memang normal demand-nya segitu. Di tahun-tahun awal memang demand-nya tinggi, dan banyak juga digunakan untuk taxi online dan lain-lain, jadi memang demandnya berbeda dari sekarang,” punkas Anton.

 

Sumber: https://oto.detik.com/mobil/d-4521764/ada-pajak-3-toyota-masih-yakin-lcgc-beri-kontribusi-baik?_ga=2.4876339.1041509045.1556072735-363719665.1524632993

24 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/04/LCGC.jpeg 465 700 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-24 10:24:322021-04-22 14:23:37Ada Pajak 3%, Toyota Masih Yakin LCGC Beri Kontribusi Baik
News

DJP Pertegas Penentuan Penghasilan Kena Pajak Perusahaan Asuransi Jiwa

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak memperjelas penentuan penghasilan kena pajak pada perusahaan asuransi jiwa. Hal ini dilakukan dengan memberi penegasan tentang cara pembebanan atas biaya klaim/ manfaat asuransi. Hal ini menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (22/4/2019).

Kejelasan ini tertuang dalam Surat Edaran Dirjen No. SE-08/PJ/2019 yang diteken Dirjen Pajak Robert Pakpahan pada 8 April 2019. Salah satu poin penting dari beleid itu adalah penetapan selisih saldo awal tahun cadangan premi yang telah dikurangi dengan pembayaran klaim/manfaat asuransi pada tahun berjaian dibandingkan dengan cadangan premi yang dihitung oleh aktuaria pada akhir tahun.

Selisih atas perbandingan itu dihitung sebagai penghasilan jika ada penurunan cadangan premia tau sebagai biaya jika ada kenaikan cadangan premi. Penghasilan atau biaya itu merupakan bagian dari tahun berjalan.

“SE itu memperjelas saja, termasuk dengan memberikan contoh penghitungan di lampiran SE, mekanisme pembebanan biaya klaim atau manfaat pada perusahaan asuransi jiwa,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti topik rencana peningkatan investasi Arab Saudi di Indonesia, termasuk dalam industri petrokimia. Otoritas fiskal akan memberi insentif pajak berupa tax holiday demi terwujudnya industri petrokimia di Indonesia.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyuguhkan informasi terkait rencana otoritas fiskal yang akan memberi insentif berupa tambahan alokasi anggaran untuk kementerian/lembaga (K/L) yang memiliki kinerja anggaran terbaik sepanjang 2018. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.47/PMK.02/2019.

Melalui Surat Edaran Dirjen No. SE-08/PJ/2019, pemerintah membagi tiga aspek perhitungan penghasilan kena pajak pada perusahaan asuransi jiwa. Pertama, dalam hal saldo awal tahun cadangan premi yang telah dikurangi dengan pembayaran klaim/manfaat asuransi pada tahun berjalan dibandingkan dengan cadangan premi yang dihitung oleh aktuaria pada akhir tahun mengaiami penurunan maka penurunan cadangan premi tersebut merupakan penghasilan pada tahun berjalan.

Kedua, dalam hal saldo awal tahun cadangan premi yang telah dikurangi dengan pembayaran klaim/manfaat asuransi pada tahun berjalan dibandingkan dengan cadangan premi yang dihitung oleh aktuaria pada akhir tahun mengalami kenaikan maka kenaikan cadangan premi tersebut merupakan biaya yang dapat dibebankan pada tahun berjalan.

Ketiga, kenaikan cadangan premi yang merupakan biaya tidak termasuk kenaikan atas pembentukan cadangan terkait hasil investasi yang telah dikenakan pajak penghasilan dengan mekanisme pajak tersendiri yang bersifat final dan/atau bukan merupakan objek pajak.

Sumber:https://news.ddtc.co.id/djp-pertegas-penentuan-penghasilan-kena-pajak-perusahaan-asuransi-jiwa-15669

22 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/04/asuransi1.jpg 421 680 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-22 09:49:502021-04-22 14:23:37DJP Pertegas Penentuan Penghasilan Kena Pajak Perusahaan Asuransi Jiwa
News

Baru 347 Ribu Wajib Pajak Korporasi yang Lapor SPT Pajak

TEMPO.CO, Jakarta – Jumlah wajib pajak (WP) korporasi yang melaporkan SPT Pajak tahun pajak 2018 masih jauh dari target. Data Direktorat Jenderal Pajak terakhir menunjukkan, jumlah WP korporasi atau badan yang telah melaporkan SPT Pajak hanya sebanyak 347 ribu.  Jika dibandingkan dengan total jumlah WP pelapor SPT Pajak yang sebanyak 1,47 juta, jumlah WP korporasi hanya 23,6 persen.

“SPT Tahunan WP Badan yang sudah disampaikan 347.000. Jumlah ini naik 11,6 persen dibandingkan tahun lalu sebanyak 311.000,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, di Jakarta, Senin 15 April 2019.

Yoga memastikan, pemerintah akan terus mengawasi kepatuhan WP Badan. Apalagi, jumlah WP Badan tidak terlalu banyak, sehingga memudahkan petugas di KPP mengingatkan WP Badannya untuk lapor SPT Pajak.

“Mereka juga memberikan bimbingan pengisian SPT Tahunan WP Badan terutama untuk yang baru terdaftar atau belum pernah lapor SPT,” ucap Yoga.

Dalam catatan Bisnis, dilihat secara tren, kepatuhan WP Korporasi atau Badan memang masih cukup rendah. Bahkan dibandingkan dengan 2017, kini makin anjlok.

Rasio kepatuhan WP korporasi tahun lalu hanya 58,8 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2017 yang rasionya mencapai 65 persen.

Rata-rata kepatuhan formal WP korporasi atau badan selama 5 tahun terakhir tak lebih dari 57,2 persen. Angka yang sangat rendah jika dibandingkan dengan peran PPh badan ke penerimaan pajak yang mencapai 20,4 persen.

 

Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1195927/baru-347-ribu-wajib-pajak-korporasi-yang-lapor-spt-pajak/full&view=ok

22 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/04/lapor-pajak.jpg 182 277 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-22 09:44:572021-04-22 14:23:37Baru 347 Ribu Wajib Pajak Korporasi yang Lapor SPT Pajak
News

Kejar Target SPT, WP Badan Dioptimalkan

Kejar Target SPT, WP Badan Dioptimalkan JAKARTA. Batas pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) wajib pajak (WP) orang pribadi berakhir 1 April 2019. Hasilnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat kepatuhan WP menyampaikan SPT Tahunan 2018 baru 61,7%.
Ditjen Pajak akan mengoptimalkan sosialisasi ke WP badan untuk mengejar target kepatuhan SPT, karena batas akhir pelaporan SPT korporasi hingga 30 April 2019.

Jumlah pelaporan SPT hingga 1 April 2019 sebanyak 11,3 juta. Dari jumlah itu termasuk SPT WP badan sebanyak 278.000. Tahun ini ada sekitar 1,5 juta WP yang berkewajiban lapor SPT. Artinya, masih ada sekitar 1,2 juta WP badan yang belum lapor SPT.

Dengan tambahan tersebut, hingga akhir April 2019 diharapkan seluruh laporan SPT mencapai 12,5 juta. “Jumlah WP badan yang wajib lapor SPT Tahunan tidak sebanyak orang pribadi, hanya sekitar 1,5 juta WP. Account representatif (AR) di KPP (kantor pelayanan pajak) akan proaktif menghubungi WP masing-masing untuk lapor SPT Tahunan,” tutur Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, Selasa (3/4).

Petugas kantor pajak akan meneruskan strategi yang telah dilakukan terhadap WP orang pribadi, seperti mengirimi wajib pajak badan email sebagai pengingat untuk segera melaporkan SPT. Ditjen Pajak juga akan gencar sosialisasi ke perusahaan maupun asosiasi industri.

Bersamaan itu, Ditjen Pajak juga akan mengingatkan sanksi bagi yang tak lapor SPT. Sesuai dengan Undang-Undang KUP, bila SPT tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka dikenakan sanksi administrasi Rp 100.000 untuk wajib pajak orang pribadi dan Rp 1 juta untuk wajib pajak badan usaha.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, Ditjen Pajak perlu mengevaluasi mengapa wajib pajak banyak yang tidak melaporkan SPT Tahunan tepat waktu. Menurut dia, salah satu kendala yang dihadapi saat ini adalah persepsi wajib pajak, yakni sudah membayar pajak sehingga merasa tidak harus lapor SPT. “Ke depan, simplifikasi atau disederhanakan atau cukup bukti potong dijadikan sebagai SPT. Kalau dia memiliki penghasilan lain bisa dilakukan dengan self assessment,” tutur Yustinus.

 

Sumber: http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=12947

10 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/04/spt.jpg 450 675 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-10 10:03:062021-04-22 14:23:37Kejar Target SPT, WP Badan Dioptimalkan
News

Tingkat Kepatuhan Rendah, Sanksi Pelaporan SPT Perlu Dikaji Ulang

JAKARTA – Kementerian Keuangan mencatatkan hingga 1 April 2019 tingkat kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mencapai 61,7% atau 11,309 juta dari 18,334 juta wajib pajak yang wajib melapor. Realisasi itu mencakup wajib pajak orang pribadi maupun badan.

Pengamat menilai realisasi itu menunjukkan tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Salah satunya dipicu pengenaan sanksi yang ringan bagi wajib pajak bila terlambat melakukan pelaporan.

“Denda keterlambatan yang kecil tidak mendorong orang melaporkan SPT,” Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada Okezone, Jakarta, Rabu (3/4/2019).

Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) keterlambatan pelaporan SPT Tahunan akan dikenakan denda Rp100.000 bagi wajib pajak orang pribadi dan Rp1 juta bagi wajib pajak badan.

Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji ulang ketentuan sanksi tersebut. Kata dia, denda yang dikenakan harus tinggi sehingga memberi efek kepatuhan kepada masyarakat.

“Jadi wajib pajak pribadi naik dari Rp100.000 jadi Rp1 juta, sedangkan untuk wajib pajak badan meningkat jadi Rp5 juta,” sebut Yustinus.

Senada, Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai pemerintah perlu mengkaji ulang besaran denda bagi wajib pajak terlambat melapor SPT. Kendati demikian, dia enggan menyebutkan nominal pengenaan denda yang tepat.

“Yang pasti sanksi keterlambatan perlu ditinjau ulang dengan memperhatikan asas proporsionalitas,” kata dia.

Sekedar informasi, dari 11,309 juta wajib pajak yang melapor SPT, terdapat 11,030 juta wajib pajak orang pribadi yang telah melaporkan SPT hingga tenggat waktu yang ditetapkan pada 1 April 2019. Realisasi ini meningkat 7,75% dari tahun lalu yang sebanyak 10,237 juta wajib pajak.

Kemudian untuk pelaporan SPT oleh wajib pajak badan mencapai 278.000 atau tumbuh 6,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di mana tenggat waktu pelaporan SPT wajib pajak badan hingga 30 April 2019.

 

Sumber: https://economy.okezone.com/read/2019/04/03/20/2038645/tingkat-kepatuhan-rendah-sanksi-pelaporan-spt-perlu-dikaji-ulang

9 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/03/Bayar-Pajak.jpg 420 760 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-09 09:10:092021-04-22 14:23:37Tingkat Kepatuhan Rendah, Sanksi Pelaporan SPT Perlu Dikaji Ulang
News

Wajib Miliki NPWP, Google Cs Kini Sulit Berkelit dari Pajak

JAKARTA – Kementerian Keuangan menerbitkan aturan baru kepastian pajak terhadap over the top (OTT) asing yang beroperasi di Indonesia terhitung mulai 1 April 2019.

Selama ini, keberadaan OTT asing dianggap hanya mengambil keuntungan dari pasar dalam negeri tanpa dikenakan kewajiban perpajakan seperti korporasi pada umumnya.

“PMK ini dikeluarkan seiring dengan meningkatnya perkembangan model usaha lintas negara yang melibatkan subjek pajak luar negeri,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama seperti dilansir Harian Neraca, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Menurut Hestu, untuk memungut pajak dari OTT asing seperti Google, Facebook atau platform lainnya diperlukan kepastian hukum. Artinya, PMK No. 35/PMK.03/2019 akan mempertegas dua hal yakni pertama mengenai kepastian hukum bagi orang pribadi atau badan asing yang berusaha melalui BUT di Indonesia. Dan kedua, PMK memperjelas undang-undang pajak penghasilan (PPh) mengenai penentuan BUT.

Dia menuturkan, PMK ini untuk memberi penegasan sehingga ada panduan yang jelas bagi masyarakat, badan asing, maupun petugas pajak di lapangan. “Itu sebenarnya bukan hal yang baru, hanya menjelaskan apa yang sudah ada di UU saja dalam bentuk PMK yang lebih detail lagi,” ujarnya.

Adapun poin penting PMK baru tersebut adalah penegasan untuk:

– Perusahaan asing yang secara fisik berpusat di negara lain tapi bertransaksi dan memperoleh penghasilan di Indonesia, tetap menjadi objek pajak.

– Orang pribadi, asing atau badan usaha asing wajib memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

– Tempat usaha BUT mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas, instalasi, mesih atau peralatan otomatis yang digunakan oleh pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha melalui internet.

Hestu menerangkan, perusahaan seperti Google maupun Facebook perlu diindetifikasi mengenai data penghasilannya. Pasalnya, dalam beleid itu terdapat aturan di mana jika perusahan asing yang BUT memiliki penghasilan besar, maka bisa dikenakan pajak.

Menurut pengamat pajak Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, ruang lingkup aturan ini telah memberikan suatu kepastian hukum terhadap penentuan BUT yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan.

“Sehingga ke depannya dapat mendukung iklim investasi asing yang baik di Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, aturan ini juga memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia dengan menimbang model usaha yang melibatkan subjek pajak luar negeri.

Sementara itu, pendaftaran NPWP juga dinilai sesuai dengan dasar hukum Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) serta ketentuan yang tertulis dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara/yurisdiksi mitra.

Menurut Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ferdinandus Setu mengatakan, PMK yang mengatur Penentuan BUT merupakan salah satu peraturan yang didorong oleh Kominfo. Dia menilai, dengan aturan ini maka perusahaan dengan platform media sosial dan digital bisa lebih dipantau keberadaannya di Tanah Air.

“Platform media sosial ini sangat rentan terhadap ujaran kebencian dan berpotensi mengganggu keamanan negara. Sejak awal aturan ini didorong juga oleh Kominfo sebagai dasar adanya kantor perwakilan di tanah air,” ujarnya.

Dia meyakini perusahaan berbasis media sosial dan digital sudah mengantisipasi aturan ini dan siap bekerjasama dengan pemerintah. “Saya kira mereka sudah antisipasi ya. Sehingga tidak akan ada masalah nantinya, karena perjuangan lahirnya aturan ini dilakukan sejak lima tahun silam,” ujarnya.

Setu mengakui, PMK ini akan memberikan keuntungan dari sisi penambahan potensial wajib pajak baru. Sedangkan bagi Kominfo, keberadaan kantor perwakilan perusahaan seperti ini bisa memudahkan pemantauan dan komunikasi terkait penggunanya di masyarakat.

“Jadi setiap kali ada aduan, ujaran kebencian atau potensi gangguan keamanan, pemantauan dan komunikasinya bisa lebih mudah,” ujarnya.

 

Sumber: https://economy.okezone.com/read/2019/04/08/20/2040446/wajib-miliki-npwp-google-cs-kini-sulit-berkelit-dari-pajak?page=2

9 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/04/pajak-google.jpg 413 620 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-09 09:04:112021-04-22 14:23:58Wajib Miliki NPWP, Google Cs Kini Sulit Berkelit dari Pajak
News

Pengamat: Bebas PPN untuk Ekspor Jasa Harus Diperluas Lagi

Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Keuangan memperluas jenis ekspor jasa kena pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 0 persen. Ini dilakukan untuk mendorong perkembangan sektor jasa modern serta meningkatkan daya saing ekspor jasa Indonesia dan memperbaiki neraca perdagangan.

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, meyambut baik upaya pemerintah dalam perluasan ekspor jasa tersebut. Menurutnya, perluasan ini pun menjalankan apa yang menjadi roh Undang-Undang dalam PPN yang menyatakan secara tegas dalam penjelasan umum mengenai perluasan tersebut.

“Ini hanya konsekuensi logis dalam aplikasikan penjelasan umum, yang menyatakan bahwa PPN itu pengenaannya destination principle. Artinya PPN dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam kepabeanan Indonesia,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (4/4/2019).

Darrusalam mengatakan, meski secara penuh seluruh ekspor jasa belum dikenakan tarif nol persen, ke depan dirinya berharap akan ada perluasan lagi. Namun, dengan catatan ada kesiapan dalam konteks adminitrasi PPN itu sendiri.

“Saya yakin ke depan, kalau administrasi PPN siap, akan ada lagi ekspor-ekspor jasa yang akan diperluas. Saya memberikan apresiasi kepada pemerintah, nanti kita tinggal tunggu lagi ke depannya mana yang sudah siap untuk dikenakan atau diperluas lagi terkait jenis jasa-jasa ekspor yang bisa dikenakan 0 persen,” bebernya.

Darrusalam menambahkan, ke 10 ekspor jasa yang dikenakan tarif nol persen itu pun sudah sudah dilakukan pemetaan terlebih dahulu oleh pemerintah. Tentu saja, dalam menentukan itu, pemerintah tidak sembarangan. Artinya tetap berdasarkan analisi dan hitung-hitungan dalam konteks ekspor mana saja yang memberikan kontribusi ke perekonomian Indonesia.

“Pemerintah melihhat ekspor-ekspor mana yang memberikan kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi, sehingga ekspor jasa bisa menghidupkan lapangan pekerjaan, itu lah yang perlu didahulu disupport untuk pengenaan 0 persen,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memperluas 10 jenis ekspor jasa kena pajak yang dikenai PPN 0 persen. Perluasan jenis ekspor jasa ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.010/2019 yang mulai berlaku pada 29 Maret 2019.

Adapun ke-10 jenis ekspor jasa baru secara keseluruhan yang diberikan insentif PPN 0 persen antara lain:

1.Jasa maklon

2. Jasa perbaikan dan perawatan

3. Jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor

4. Jasa konsultansi konstruksi

5. Jasa teknologi dan informasi

6. Jasa penelitian dan pengembangan

7. Jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional

8. Jasa konsultansi antara lain:

Jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultasi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsinyuran, jasa konsultansi pemasaran, jasa akuntansi pembukuan, jasa audit laporan keuangan dan jasa perpajakan.

9. Jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam daerah pabean untuk tujuan ekspor

10. Jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelis dan komunikasi/konektivitas data.

 

Sumber: https://www.liputan6.com/bisnis/read/3934000/pengamat-bebas-ppn-untuk-ekspor-jasa-harus-diperluas-lagi

 

8 April 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/04/eskpor.jpg 338 620 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-04-08 10:13:442021-04-22 14:23:58Pengamat: Bebas PPN untuk Ekspor Jasa Harus Diperluas Lagi
News

Kepatuhan Membayar Pajak Bisa Kurangi Utang Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengimbau masyarakat untuk secara sadar membayar pajak dan melaporkannya. Pasalnya, dengan peningkatan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah bisa berupaya menekan utang negara. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan

Perpajakan Puspita mengatakan, bila Indonesia ingin mengurangi utang, maka kepatuhan pajak harus ditingkatkan. Hal ini mengingat belanja negara dibuat terlebih dulu sebelum merencanakan penerimaan negara. “Artinya kalau kita mau mengurangi utang, mau tidak mau kepatuhan pembayaran pajak dengan sukarela itu dikedepankan,” ujar Puspita, Selasa (26/3/2019).

Namun, Aviliani menyoroti penerimaan pajak penghasilan orang pribadi maupun badan yang kontribusinya masih kecil terhadap APBN. “Artinya masyarakat kelas menengah dan atas semakin meningkat tetapi kepatuhan membayar pajaknya masih rendah. Kita bisa mengurangi defisit APBN bila kita semua sudah memenuhi kewajiban,” tutur Aviliani. Catatan saja, dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ditetapkan batas maksimal defisit anggaran sebesar 3 persen terhadap PDB. Tahun ini, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 1,84 persen atau sebesar Rp 296 miliar. Dimana, penerimaan negara ditargetkan Rp 2.165,2 triliun sementara belanja negara ditetapkan sebesar Rp 2.461,1 triliun. Defisit anggaran ini ditutupi melalui pembiayaan utang

Tahun ini, penerimaan negara dari pajak ditargetkan sebesar Rp 1.577,56 triliun atau nyaris 73 persen dari total penerimaan negara. Sisanya didapatkan dari penerimaan bea dan cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah. Puspita menambahkan, penerimaan negara tersebut tak hanya disalurkan di pemerintah pusat namun juga ke daerah. Terhitung sebanyak Rp 826,8 triliun dari belanja negara berupa transfer ke daerah dan dana desa. Dana tersebut akan ditujukan untuk pembangunan daerah. Hal senada disampaikan oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani. Menurutnya, adanya ketaatan pajak memang bisa mengurangi utang.

Sumber:
https://money.kompas.com/read/2019/03/26/180750126/kepatuhan-membayar-pajak-bisa-kurangi-utang-indonesia
29 March 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/03/utang-negara.jpg 400 600 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-03-29 10:10:012021-04-22 14:23:58Kepatuhan Membayar Pajak Bisa Kurangi Utang Indonesia
News

Pemerintah Diimbau Tunda Penerapan Pajak E-Commerce

JAKARTA – Pemerintah diimbau menunda pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada 1 April mendatang. Penundaan dinilai perlu agar ada cukup waktu bagi pemerintah untuk mengkaji lebih jauh, secara cermat dan hati-hati, mengenai dampak negatif dari kebijakan itu terhadap industri maupun pelaku e-commerce dan marketplace yang notabene merupakan industi baru.

“Jangan sampai penerapan PMK 210/2018 memukul ekonomi digital nasional,” kata Deputy Head of Research and Analysis Katadata Stevanny Limuria di Jakarta, Kamis (28/3/2019).

Dengan tujuan menciptakan kesetaraan di antara para pelaku ekonomi, pemerintah pada 31 Desember 2018 telah mengeluarkan PMK 210/2018. Regulasi ini akan berlaku efektif pada 1 April 2019 dan mewajibkan pedagang yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau beromzet Rp4,8 miliar setahun untuk memungut PPN 10% dari pembeli dan selanjutnya menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

Sementara itu, untuk pedagang atau penyedia jasa yang belum berstatus PKP, tidak diwajibkan memungut PPN dari konsumen. Namun, diwajibkan menyetor Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. Melalui kewajiban penyerahan NPWP dan NIK ini, pemerintah berharap akan terjadi perluasan basis wajib pajak.

Persoalannya, kata Stevanny, belum ada mekanisme yang efektif dan aturan terperinci mengenai penerapan aturan ini bagi media sosial. Padahal, sebagian besar transaksi e-commerce dilakukan via media sosial. Berdasarkan survei idEA pada 2017 di 10 kota di Indonesia, transaksi online melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram mencapai 66%. Hanya 16% penjual dan pembeli yang menggunakan platform marketplace.

Menurut Stevanny, tingginya transaksi e-commerce di media-media sosial menunjukkan bahwa penerapan PMK 210/2018 sebagai upaya profiling dan memperluas basis wajib pajak dari merchant dan pedagang yang 99% merupakan pengusaha mikro, sulit tercapai.

Hal lain yang perlu dicermati, imbuh dia, kewajiban melaporkan NPWP dan NIK bagi pedagang dan penyedia jasa kepada penyedia platform marketplace dikhawatirkan akan mendorong perpindahan besar-besaran merchant dan para pedagang dari platform marketplace ke platform media sosial.

Sementara, pengamat perpajakan dari Center for Indonesian Taxation (CITA) Yustinus Prastowo menyoroti soal perlunya edukasi, khususnya kepada penjual di marketplace, bahwa fasilitas yang didapat oleh penjual e-commerce ketika mereka berdagang melalui media sosial akan sangat terbatas jika dibandingkan ketika mereka berdagang melalui platform marketplace.Terlebih lagi platform e-commerce seperti marketplace punya kelebihan, yakni jaminan keamanan, reputasi penjual, dan juga riwayat transaksi penjualan.
Menurut Yustinus, transaksi e-commerce di luar platform marketplace seperti online retail, classified ads, daily deals, atau media sosial sebenarnya bisa mengikuti ketentuan yang ada dalam PMK 210/2018. Namun, pemerintah perlu segera membuat peraturan lanjutan mengenai ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce via media sosial. “Ini agar terjadi equal treatment pelakuan perpajakan (terhadap semua platform e-commerce),” tegasnya.

Jika pemerintah belum bisa mengeluarkan regulasi lanjutan yang khusus mengatur ketentuan perpajakan untuk transaksi e-commerce di media sosial, sambung Stevanny, maka pemerintah ada baiknya menunda pelaksanaan PMK 210/2018 minimal selama dua tahun.”Waktu dua tahun bisa dipakai juga untuk mengedukasi kesiapan penjual e-commerce mengenai ketentuan perpajakan,” jelasnya.

 

Sumber:

https://ekbis.sindonews.com/read/1390904/33/pemerintah-diimbau-tunda-penerapan-pajak-e-commerce-1553771826

29 March 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/03/ecom.jpg 441 670 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-03-29 09:53:492021-04-22 14:23:58Pemerintah Diimbau Tunda Penerapan Pajak E-Commerce
News

Aviliani: Kepatuhan Pajak di Indonesia Masih Rendah

Jakarta, CNBC Indonesia – Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Oleh karena itu, kepatuhan masyarakat maupun badan dalam membayar pajak menjadi penting.

Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum patuh membayar pajak. Hal itu disampaikan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani.

“Pajak dari PPh 21 maupun pajak badan kontribusinya masih kecil terhadap APBN. Artinya masyarakat kita kelas menengah dan atas meningkat, tapi kepatuhan bayar pajaknya masih rendah,” ujarnya di Century Park Hotel, Selasa (26/3/2019).

Realisasi tingkat kepatuhan formal tahun 2017 tercatat 72,64%. Jumlah itu bersumber dari jumlah SPT tahunan PPh yang diterima Direktorat Jenderal Pajak sebanyak 12,06 juta dari total 16,59 juta wajib pajak.

Tahun ini, Direktorat Jenderal Pajak menargetkan tingkat kepatuhan pajak 80%. Target itu diukur berdasarkan jumlah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan orang pribadi dan badan untuk tahun pajak 2018.

Padahal, menurut Avialiani, jumlah penduduk yang memiliki penghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) terus meningkat. Baik dari sisi pekerja formal seperti pekerja kantoran, buruh pabrik, dan sebagainya, maupun informal seperti youtuber yang memiliki penghasilan fantastis.

“Misalnya Atta Halilintar penghasilannya berapa itu,” jelasnya.

Begitu juga dengan pembayaran pajak PPh badan yang tingkat kepatuhannya masih rendah. Ini karena sistem pelaporan menganut self assesment.

Aviliani menekankan, ke depan, tingkat kepatuhan pembayaran pajak perlu ditingkatkan. Sebab, melalui pajak, negara dapat meningkatkan penerimaan dan membantu mengurangi defisit APBN, serta ketergantungan terhadap utang untuk pembiayaan.

 

Sumber:

https://www.cnbcindonesia.com/news/20190326160157-4-63008/aviliani-kepatuhan-pajak-di-indonesia-masih-rendah

28 March 2019/by MAAS Consulting
https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2019/03/Bayar-Pajak.jpg 420 760 MAAS Consulting https://www.maas.co.id/wp-content/uploads/2021/04/logo-300x102.png MAAS Consulting2019-03-28 09:55:312021-04-22 14:23:58Aviliani: Kepatuhan Pajak di Indonesia Masih Rendah
Page 2 of 512345

Latest News

  • Ringkasan PER-23/PJ/202018 August 2021 - 9:55 am
  • Menyoal Inkonsistensi Kebijakan Transfer Pricing Nurdiansyah, Thursday, 26 November 20206 January 2021 - 9:17 am
  • Penerimaan Pajak Semester I 2019 Melempem, Ini Biang Keroknya5 August 2019 - 9:16 am
  • Fresh Graduate Dapat Gaji Rp 8 Juta, Pajaknya Berapa?30 July 2019 - 9:14 am
  • Diskon Pajak 300 Persen Bakal Gairahkan Sektor Industri23 July 2019 - 9:13 am
Popular
  • Ringkasan PER-23/PJ/202018 August 2021 - 9:55 am
  • Sri Mulyani: Orang Dengar Pajak Kepalanya Langsung Kors...14 January 2019 - 6:20 pm
  • Pajak e-commerce tuai pro-kontra, Menkeu: Isu pajak memang...14 January 2019 - 6:55 pm
  • AEoI Diharapkan Tingkatkan Kepatuhan Pajak Orang Kaya14 January 2019 - 10:21 pm
  • Ditjen Pajak Punya Teknologi Lacak Wajib Pajak Via Meds...21 January 2019 - 6:56 pm
Comments
Tags

MAAS Consulting was established in 1997 by experienced consultants in the fields of tax and accounting.

Head Office

Gedung Arva Lt 3 Jln. R.P Soeroso No.40
Gondangdia, Menteng
Jakarta Pusat 10350.
Indonesia

Workshop & Correspondence

Jl. Teluk Ratai No. 82a
Rawa Bambu – Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520
Indonesia

Availability & Support

Mon – Fri (09.00 – 17.00 WIB)
Phone: +6221-780 7316
Fax: +6221-7884 0191
Email: info@maas.co.id

© 2019 MAAS Consulting

Scroll to top Scroll to top Scroll to top

We use cookies to personalize content and ads, to provide social media features and to analyze our traffic. We also share information about your use of our site with our social media, advertising and analytics partners who may combine it with other information that you’ve provided to them or that they’ve collected from your use of their services

OKLearn More

Cookie and Privacy Settings



How we use cookies

We may request cookies to be set on your device. We use cookies to let us know when you visit our websites, how you interact with us, to enrich your user experience, and to customize your relationship with our website.

Click on the different category headings to find out more. You can also change some of your preferences. Note that blocking some types of cookies may impact your experience on our websites and the services we are able to offer.

Essential Website Cookies

These cookies are strictly necessary to provide you with services available through our website and to use some of its features.

Because these cookies are strictly necessary to deliver the website, refusing them will have impact how our site functions. You always can block or delete cookies by changing your browser settings and force blocking all cookies on this website. But this will always prompt you to accept/refuse cookies when revisiting our site.

We fully respect if you want to refuse cookies but to avoid asking you again and again kindly allow us to store a cookie for that. You are free to opt out any time or opt in for other cookies to get a better experience. If you refuse cookies we will remove all set cookies in our domain.

We provide you with a list of stored cookies on your computer in our domain so you can check what we stored. Due to security reasons we are not able to show or modify cookies from other domains. You can check these in your browser security settings.

Google Analytics Cookies

These cookies collect information that is used either in aggregate form to help us understand how our website is being used or how effective our marketing campaigns are, or to help us customize our website and application for you in order to enhance your experience.

If you do not want that we track your visit to our site you can disable tracking in your browser here:

Other external services

We also use different external services like Google Webfonts, Google Maps, and external Video providers. Since these providers may collect personal data like your IP address we allow you to block them here. Please be aware that this might heavily reduce the functionality and appearance of our site. Changes will take effect once you reload the page.

Google Webfont Settings:

Google Map Settings:

Google reCaptcha Settings:

Vimeo and Youtube video embeds:

Other cookies

The following cookies are also needed - You can choose if you want to allow them:

Privacy Policy

You can read about our cookies and privacy settings in detail on our Privacy Policy Page.

Privacy Policy
Accept settingsHide notification only